Aku
heran. Mengapa banyak orang-orang yang lebih memilih menjelek-jelekkan
pemimpinnya (kita bicara Indonesia ya) daripada mendoakan agar selalu sehat dan
dapat lebih bijaksana dalam memimpin negara ini? Ibarat pertanyaan dari salah
satu sosok ter Ilahi yang pernah ada dalam sejarah; “mengapakah engkau melihat
selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak
engkau ketahui?”. Bahasa sederhananya adalah;”situ udah sempurna, sampai-sampai
dengan ringannya mengomentari tentang orang lain? Sudah ngaca belum?”
Menjadi
pemimpin pasti tidak mudah. Saya mengaca pada diri saya sendiri, yang adalah
pimpinan dari diri saya sendiri. Sederhananya begini; ketika jam makan siang,
saya tahu saya harus makan siang karena itu baik untuk kesehatan saya. Namun,
kerena ada pekerjaan kantor yang harus saya selesaikan, saya memilih untuk
menunda makan siang demi pelayanan supaya nasabah tidak gusar karena menunggu
lama (yang akibatnya bagi saya, makan siang dapat berubah istilah menjadi makan
sore). Contoh lain, ketika saya harus menghadapi dua pilihan; nasabah yang
memaksa saya untuk dilayani terlebih dahulu karena statusnya yang sedang
terburu-buru atau melayani nasabah yang telah sabar menunggu antriannya. Salah satu
pihak pasti akan berkeluh kesah bahkan bisa jadi marah dari setiap pilihan yang
akan saya ambil dari kondisi tersebut. Maaf, para nasabah yang terhormat, saya
tidak bisa menyenangkan setiap orang, saya akan memilih pilihan yang paling
baik. Atau contoh lain yang sederhana: saya belok kiri atau kanan, saya harus
jujur atau bohong, dan lain sebagainya. Menjadi pemimpin bagi diri sendiri saja
sudah seperti itu ya.
Apalagi
menjadi pemimpin negara, dengan berbagai macam permasalahan yang muncul setiap
hari, dengan berbagai macam keputusan-keputusan yang harus dipilih dan atau
diputuskan, yang tentu saja dengan mempertimbangkan hal seperti meminimalisasikan
kerugian yang akan muncul, dan lain sebagainya. Kalau saya bayangkan (karena
saya belum pernah menjadi pemimpin sebuah negara), menjadi bos sebuah negara
itu susah, walaupun itu sudah dibantu oleh para menteri. Karena keputusan yang
diambil tidak dapat menyenangkan semua orang (termasuk saya). Baik buruknya
seorang pemimpin juga tidak bisa dilihat hanya dari keputusan-keputusan yang
dia ambil, namun juga dari karakter dan personalnya. Baik buruknya seorang
pemimpin juga (secara subjektif atau mungkin objektif?) bisa ternilai
tergantung dari sisi mana orang tersebut mau menilainya.
Satu
hal yang aku lihat-lihat, atau baca-baca dari sejarah, Politik itu drama. Kalau
dianalogikan seperti serial TV Game of Throne (coba tonton deh, dan semoga
analogi saya ini tidak melenceng). Yang kawan bisa jadi lawan. Musuh dari
musuhku adalah temanku. Politik juga bisa menjadi konsep terbawa perasaan yang
jika terasuk lebih dalam akan menjadi personal. Dengan kata lain, yang dia
pikirkan adalah dirinya sendiri. Bagimana supaya menang, bagaimana supaya
berkuasa, bagaimana saya memanfaat kan keramaian untuk membuka jalan bagi saya
untuk berkuasa.
Orang-orang
(entah itu protagonis atau antagonis) yang terlibat dalam politik akan
menggunakan cara dan media apa saja untuk mencapai tujuannya. Bisa menggunakan sosial
media dan elektronik, pendekatan melalui suku, agama, ras, dan lain sebaganya. Bisa
juga memecah belah yang telah bersatu, mempersatukan yang terpecah belah atau
mengacaukan yang sudah damai, mendamaikan yang kacau. Memanfaatkan orang-orang
yang mudah terprovokasi atau memiliki pemikiran sempit (entah itu orang pintar
atau orang bodoh). Bahkan membuat orang-orang yang kurang kerja merasa berguna.
Kalau di Indonesia ini yang lagi hangat-hangatnya menggunakan cara apa ya?
Haduh,
tidak ada habisnya bahas politik dan aku juga tidak mau buang-buang waktu
membahas politik (kebetulan lagi gabut aja karena libur, jadi nulis ini,
haha.). Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan kepercayaan atau agama, Aduhh, bisa
jadi satu buku mungkin ya, haha.
Hal-hal
yang lagi hits sekarang ini juga adalah semboyan 2019 Ganti Presiden. Dari
pandangan saya, itu adalah hak setiap orang untuk memilih dan menentukan. Sekali
lagi, setiap orang tidak bisa menyenangkan kita, sama seperti kita tidak bisa
menyenangkan setiap orang. Tapi yang saya sangat sedih dan sayangkan adalah,
bagaimana masyarakat memanifestasikan semboyan tersebut ke cara-cara yang
menurut saya kasar, dan barbar. Seakan-akan tidak ada hal baik yang sudah
dilakukan pemimpin dan para menteri sekarang untuk Indonesia, untuk masyarakat
Indonesia. Bahkan rasa-rasanya seperti mengarah ke ujaran kebencian. Sekarang
coba deh kita merenung dan menanyakan ini kepada diri kita; apa kontribusiku
untuk bangsa ini? Apakah aku menyumbangkan kedamaian atau kekacauan? Apakah aku
lebih banyak berkata-kata daripada bertindak? Aku tinggal di negara Indonesia
apa bukan? Aku masih bisa menikmati layanan publik yang ada? Apakah aku sudah
bersyukur, bahwa aku masih bisa menikmati Indonesia ini, entah itu sedikit atau
banyak? Pemimpin yang baik dan buruk itu seperti apa? Sudahkah kita
membandingkan para pemimpin sehingga kita bisa menghakimi bahwa si a atau si b
adalah pemimpin yang baik atau buruk?
Mungkin
alangkah lebih baik, kebebasan yang diberikan kepada kita. Entah itu kebebasan
menggunakan pakaian yang kita mau, kebebasan menentukan di mana kita bekerja,
kebebasan kita dalam berpendapat, dan kebebasan-kebebasan lainnya kita gunakan
secara bijak. Untuk menyebarkan damai, ketenangan, keharmonisan, dan hal-hal
positif lainnya. Untuk 2019, kalau saya boleh memberikan tips dan trik dalam
memilih presiden, pilih dengan bijaksana, siapapun nanti calonnya, pilihlah
orang yang kamu ketahui kebaikan-kebaikan apa yang sudah dia hasilkan di
Indonesia ini. Apa hasil pekerjaannya. Apa kontribusinya. Apakah dia hanya
pingin menang saja, atau memang akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk
Indonesia ini. Pilihlah bukan karena euforia, pilihlah bukan karena kebencian,
namun pilihlah karena ada hasil yang baik yang mereka berikan untuk Indonesia
ini, yang bisa kita nikmati. Siapapun itu calonnya.
Ada
gak sih pemimpin yang tidak lepas dari komentar? Gak ada toh. Trus kenapa kita
hanya bisa berkomentar? Mari kita sama-sama introspeksi; apakah selama ini kita
hanya tukang komentar tapi tidak memberikan kontribusi apa-apa untuk negara
ini? Apakah kita sudah mendoakan para pemimpin kita dan para jajarannnya untuk
selalu diberikan kekuatan, kesehatan, dan kebijaksaan untuk mengurus bangsa
ini? Apakah kita sudah mendoakan Indonesia? Apakah kita selama ini tidak sadar
sudah terporovokasi? Mari kita sama-sama renungkan.
Ini
hanyalah perenungan saja. Sudah sekian lama pingin nulis ini, tapi katena lagi
liburan jadinya baru bisa menuangkan hasil pikiran ini ke dalam tulisan. Suka tidak
suka sama pandangan saya, silakan ambil sisi positifnya atau sisi baiknya saja.
Siapa tahu ada hal-hal yang bisa kita pelajari dari tulisan ini.